Wednesday, March 4, 2015

Benarkah Dalam Islam Suami Istri Punya Harta Sendiri-sendiri

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon penjelasan tentang harta bersama antara suami dan isteri dalam pandangan kacamata syariat Islam.

1. Bagaimana ketentuannya, apakah setiap harta yang dimiliki oleh suami secara automatik juga jadi harta milik isteri?

2. Ataukah harta suami tidak secara automatik menjadi harta isteri, kecuali setelah suami memberikannya dengan akad yang jelas?

3. Bagaimana dengan harta isetri sendiri, misalnya dia punya harta warisan atau punya penghasilan sendiri, apakah suaminya Automatik juga berhak atas harta itu?

4. Ataukah harta isteri 100% menjadi milik isteri dan suami tidak punya hak sama sekali, kecuali kalau isteri memberikannya?

Demikian pertanyaan kami.

Wassalam
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kes bercampurnya harta yang paling sering terjadi adalah harta antara suami dan isteri. Maklum saja, kerana ramai yang mengaku beragama Islam, tetapi dalam urusan harta antara suami dan isteri, masih banyak yang menganut sistem dari Barat.
Padahal sistem Islam tidak mengenal istilah  harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing suami isteri sebelum menikah, atau pun harta bersama, yaitu harta yang didapat selama masa pernikahan.

Yang berlaku dalam sistem Islam adalah harta yang didapat oleh suami, baik sebelum pernikahan ataupun selama masa menikah, 100% adalah milik suami. Dan begitu juga sebaliknya, semua harta yang didapat oleh isteri, baik sejak sebelum menikah ataupun selama masa pernikahan, 100% milik isteri.

Namun suami memang punya kewajiban memberikan sebagian hartanya kepada isteri, baik dalam bentuk mahar, nafkah, dan lainnya. Harta yang diberikan suami untuk isterinya, barulah harta itu berubah pemilik menjadi milik isteri. Dan yang tidak diberikan, maka statusnya tetap milik suami. 

Di dalam syariat Islam tidak dikenal harta yang bercampur dan dimiliki bersama secara automatik, kecuali bila suami dan isteri sepakat untuk membeli sesuatu secara bersama, maka barulah menjadi milik bersama, dengan percentage kepemilikan yang propotional.

Usaha Bersama Suami Isteri

kes yang sering terjadi misalnya pada pasangan suami isteri. Sejak menikah pasangan itu telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka kedai. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Boleh dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua.

Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, kerana kedua suami isteri. Tapi akan muncul masalah saat isteri meninggal dunia. Apalagi bila suami kahwin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha kedai itu ada hak milik isteri sebelumnya. Suami tentu tidak boleh menguasai begitu saja peninggalan itu.

Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.

Berapakah besar bahagian yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bahagian isteri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.

Kalau isteri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham isteri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau isteri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.
Intinya, hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik isteri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.

Pinjam atau Beli

Ini kisah nyata. Di masa lalu, seorang adik meminjamkan wang daripada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.

Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, Wang pinjaman ini tidak dikembalikan. Autamtik sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.

Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, kerana para ahli waris tidak jelas dengan statusnya. 

Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, kerana orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.

Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan. Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembali-kan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya 30,000 ribu saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja.

keluarga sang kakak meradang, kerana tidak ada nilai nya pada masa ini. Padahal di masa lalu, wang begitu senilai dengan kos tambang pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya Wang itu dikembalikan seharga kos sekarang.

Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum. 

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,