Wednesday, March 4, 2015

Benarkah Dalam Islam Suami Istri Punya Harta Sendiri-sendiri

Assalamu 'alaikum wr. wb.
Mohon penjelasan tentang harta bersama antara suami dan isteri dalam pandangan kacamata syariat Islam.

1. Bagaimana ketentuannya, apakah setiap harta yang dimiliki oleh suami secara automatik juga jadi harta milik isteri?

2. Ataukah harta suami tidak secara automatik menjadi harta isteri, kecuali setelah suami memberikannya dengan akad yang jelas?

3. Bagaimana dengan harta isetri sendiri, misalnya dia punya harta warisan atau punya penghasilan sendiri, apakah suaminya Automatik juga berhak atas harta itu?

4. Ataukah harta isteri 100% menjadi milik isteri dan suami tidak punya hak sama sekali, kecuali kalau isteri memberikannya?

Demikian pertanyaan kami.

Wassalam
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kes bercampurnya harta yang paling sering terjadi adalah harta antara suami dan isteri. Maklum saja, kerana ramai yang mengaku beragama Islam, tetapi dalam urusan harta antara suami dan isteri, masih banyak yang menganut sistem dari Barat.
Padahal sistem Islam tidak mengenal istilah  harta bawaan yang dibawa oleh masing-masing suami isteri sebelum menikah, atau pun harta bersama, yaitu harta yang didapat selama masa pernikahan.

Yang berlaku dalam sistem Islam adalah harta yang didapat oleh suami, baik sebelum pernikahan ataupun selama masa menikah, 100% adalah milik suami. Dan begitu juga sebaliknya, semua harta yang didapat oleh isteri, baik sejak sebelum menikah ataupun selama masa pernikahan, 100% milik isteri.

Namun suami memang punya kewajiban memberikan sebagian hartanya kepada isteri, baik dalam bentuk mahar, nafkah, dan lainnya. Harta yang diberikan suami untuk isterinya, barulah harta itu berubah pemilik menjadi milik isteri. Dan yang tidak diberikan, maka statusnya tetap milik suami. 

Di dalam syariat Islam tidak dikenal harta yang bercampur dan dimiliki bersama secara automatik, kecuali bila suami dan isteri sepakat untuk membeli sesuatu secara bersama, maka barulah menjadi milik bersama, dengan percentage kepemilikan yang propotional.

Usaha Bersama Suami Isteri

kes yang sering terjadi misalnya pada pasangan suami isteri. Sejak menikah pasangan itu telah membangun usaha bersama, katakanlah membuka kedai. Keduanya mengeluarkan harta benda dan tenaga untuk memajukan usaha keluarga itu secara bersama-sama. Boleh dikatakan harta yang mereka miliki itu menjadi harta berdua.

Ketika keduanya masih hidup, barangkali tidak timbul persoalan, kerana kedua suami isteri. Tapi akan muncul masalah saat isteri meninggal dunia. Apalagi bila suami kahwin lagi. Tentu di dalam harta berupa usaha kedai itu ada hak milik isteri sebelumnya. Suami tentu tidak boleh menguasai begitu saja peninggalan itu.

Boleh jadi akan muncul masalah dengan anak-anak. Mereka akan mengatakan bahwa ibu mereka punya hak atas harta yang kini menjadi milik ayah dan ibu tiri mereka.

Berapakah besar bahagian yang menjadi milik suami dan berapa yang menjadi bahagian isteri, seharusnya ditetapkan terlebih dahulu.

Kalau isteri sebagai pemilik atau pemegang saham, maka berapa besar saham isteri harus ditetapkan secara jelas. Dan kalau isteri berstatus sebagai pegawai, gajinya harus ditetapkan secara jelas juga.
Intinya, hanya harta yang sudah benar-benar 100% milik isteri saja yang dibagi waris, sedangkan yang milik suami tentu tidak dibagi waris, karena dia masih hidup.

Pinjam atau Beli

Ini kisah nyata. Di masa lalu, seorang adik meminjamkan wang daripada kakaknya untuk naik haji. Dan sebagai jaminannya, sepetak sawah digadaikan kepada sang kakak.

Sayangnya sampai sekian puluh tahun kemudian, Wang pinjaman ini tidak dikembalikan. Autamtik sawah sebagai jaminan pun juga masih di tangan sang kakak.

Ketika kedua kakak beradik ini sudah meninggal, anak dan cucu mereka bermaksud membagi harta warisan. Muncul masalah tentang status sawah, kerana para ahli waris tidak jelas dengan statusnya. 

Anak keturunan sang adik mengatakan bahwa sawah itu milik orang tua mereka, kerana orang tua mereka tidak pernah menjual sawah itu semasa hidupnya, kecuali hanya menjadikannya sebagai jaminan hutang.

Sedangkan anak keturunan sang kakak mengatakan bahwa sawah itu sudah menjadi hak orangtua mereka, lantaran utang belum pernah dikembalikan. Anak keturunan si adik akhirnya bersedia mengembali-kan hutang orangtua mereka, tetapi nilainya hanya 30,000 ribu saja, karena dulu pinjam uangnya hanya senilai itu saja.

keluarga sang kakak meradang, kerana tidak ada nilai nya pada masa ini. Padahal di masa lalu, wang begitu senilai dengan kos tambang pergi haji ke tanah suci. Mereka meminta setidaknya Wang itu dikembalikan seharga kos sekarang.

Dan masih banyak lagi kasus-kasus di tengah masyarakat, yang intinya menuntut penyelesaian terlebih dahulu dalam hal status kepemilikan harta almarhum. 

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Monday, February 23, 2015

Mensiasati Pembahagian Waris Biar Yang Diterima Anak Laki dan Wanita Sama

Soalan:

Dalam pembahagian waris memang sudah ditetapkan bahawa anak laki-laki mendapat bahagian dua kali lipat dari anak perempuan.

Tetapi bolehkah kita mensiasati pembagian waris itu dengan beberapa trik tertentu, agar pada akhirnya harta yang diterima oleh anak laki-laki menjadi sama besarnya dengan harta yang diterima anak perempuan? Apakah siasat ini dilarang atau dibolehkan?

Jawapan:

Sudah menjadi ketentuan bahawa bahagian yang diterima anak laki-laki harus dua kali lipat dari anak perempuan. Hal ini merupakan ketentuan dan hukum Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al-Quran :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ 

Allah mewasiatkan kepadamu (dalam pembahagian waris untuk) anak-anakmu bahwa bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan. (QS. An-Nisa' : 11)

Ketika sudah jelas ayatnya, maka sebenarnya sudah tidak ada lagi kompromi untuk mengotak-atik ketentuan Allah. Walaupun sayangnya kita sering mendapati adanya usaha ke arah sana.

Usaha untuk mensiasati hukum waris ini memang sering kita jumpa di tengah masyarakat. Motivasinya sendiri bermacam-macam, ada yang motivasi baik dan ada yang tidak baik. Dan caranya pun juga bermacam-macam, ada yang dilakukan dengan cara yang benar dan ada yang tidak benar.

Kalau motivasinya keliru tentu hukumnya haram. Begitu juga bila caranya keliru, hukumnya pun ikut haram pula. Tetapi kalau motivasinya benar dan caranya benar, maka hukum mensiasati itu bisa dibenarkan.

Masalah Motivasi

Yang dimaksudkan dengan motivasi yang keliru, apabila semata-mata ingin menentang hudud atau ketentuan dari Allah SWT atas hukum waris. Sebagaimana kita tahu bahwa di dalam Al-Quran Allah SWT telah menegaskan bahawa siapa yang menentang ketentuan-Nya dalam hukum waris, maka akan dimasukkan ke  dalam neraka dan kekal selamanya. 

وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ

Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya (hukum waris), nescaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.(QS. An-Nisa' 14)

Termasuk ke dalam kategori menentang adalah apabila seorang sudah tahu adanya ketentuan itu tetapi dia sengaja melanggarnya, tanpa takut bersalah atau berdosa. Seolah-olah hukum Allah SWT tidak berlaku, tidak perlu diperhatikan, tidak perlu dijadikan pedoman dan boleh saja diinjak-injak lalu diganti dengan hukum buatan sendiri.

Lain halnya bila motivasinya semata-mata kerana tidak tahu, memang tidak pernah mengaji atau tidak mendapatkan informasi detail tentang hukum waris. Lalu tanpa sengaja terjadi pelanggaran atas masalah ini, selepas ditegur dan diingatkan, dia terus berusaha untuk memperbaikinya, maka hukumannya tentu akan lain lagi. Kerana tidak ada penentangan, kesalahan terjadi semata-mata kerana tidak tahu. 

Antara menentang dengan tidak tahu tentu berbeza. Orang yang menentang adalah orang yang sudah tahu ketentuan Allah, tetapi dia remehkan saja bahkan dengan sengaja melawan dan menolak ketentuan Allah. Mereka inilah yang nanti kalau mati dipastikan masuk neraka dan abadi di dalamnya tidak akan keluar lagi. Hukumannya sama dengan orang kafir, padahal matinya sebagai muslim.

Sedangkan orang yang melanggar kerana tidak tahu, tentu bersalah dan berdosa. Tetapi siksaannya tentu lebih ringan dari pada menentang. Kalau pun masuk neraka, tentu tidak akan abadi di dalamnya. Sama-sama masuk neraka, tetapi kalau menentang maka disiksa selamanya, sedangkan kalau semata kerana tidak tahu, disiksa di neraka tapi suatu ketika akan dikeluarkan lagi. 

Masalah Cara

Adapun bila motivasinya masih boleh diterima, namun caranya tidak benar, tetap saja hukumnya tidak boleh alias haram. 

Contohnya adalah para ahli waris sepakat dan rela sama rela untuk membagi warisan tanpa membedakan anak laki-laki dan anak perempuan. Semua mendapatkan nilai yang sama. Alasannya semata-mata karena semua pihak sudah setuju. Bahkan persetujuan itu sudah tertuang secara hitam putih di depan notaris. Semua ikut menandatangani dan para saksi pun ikut menorehkan tanda-tangannya. 

Apakah bila para ahli waris sepakat untuk tidak membagi seperti dengan hukum Allah, lalu menjadi sah statusnya? Jawapannya tentu saja tidak sah bahkan tetap masih terjadi pelanggaran atas hukum Allah. 
Lalu cara bagaimana yang bisa dilakukan agar kedua maksud tercapai?

Caranya ada dua. Pertama, bagilah harta waris itu seperti dengan ketentuan hukum Allah, yaitu anak laki-laki mendapat dua kali nilai yang diterima anak perempuan. Dan pastikan semua mengetahui berapa nilai yang diterima masing-masing. Pastikan pula serah terima sudah dilakukan dengan benar dan disaksikan juga oleh semua ahli waris, termasuk kerabat dan saudara lain.
Dengan cara ini maka pembagian waris secara hukum Islam sudah selesai. Harta warisan kini sudah berpindah pemilik, dari almarhum kepada para ahli waris masing-masing dengan cara yang telah diridhai Allah SWT.

Setelah setiap ahli waris menerima haknya, maka masing-masing ahli waris boleh saling berbagi diantara mereka. Syaratnya saling berbagi itu dilakukan dengan suka sama suka, tidak terpaksa, tidak ada yang merasa diintimidasi dan dizhalimi. 

Kalau ada anak laki-laki yang mau membagi sebagian hartanya untuk diberikan kepada anak perempuan, maka hal itu boleh dilakukan. Sebaliknya, kalau ada dari anak laki-laki yang pelit tidak mau berbagi, kita tidak boleh menyalahkan. Kerana harta yang ada di tanganya memang 100% miliknya. Terserah yang bersangkutan, apakah mahu membaginya dengan saudari perempuannya atau tidak.
Anggaplah semua anak laki-laki dengan kebesaran jiwa dan sepenuh keikhlasan mahu berbagi, maka nilainya menjadi sangat tinggi di sisi Allah. Karena pemberian itu menjadi sedekah yang mendatangkan pahala. Selain itu juga akan menjadi perekat antara sesama ahli waris dan terhindar dari perpecahan.


Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarak

Wednesday, February 11, 2015

Wajibkah menulis Wasiat?

Hukum menulis wasiat
Pertanyaan:
Apakah menulis wasiat hukumnya wajib? Dan apakah diharuskan ada saksi? 

Jawapan:

Penulisan wasiat dengan ungkapan sebagai berikut: Saya fulan bin fulan, atau fulanah binti fulan. Saya berwasiat, sesungguhnya saya bersaksi bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah) selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya dan bahwa Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, bahwa Isa adalah hamba Allah dan utusan-Nya serta kalimat-Nya yang ditiupkan kepada Maryam dari roh yang diciptakan-Nya, bahwa syurga adalah benar dan adanya neraka, bahwa Kiamat pasti datang, tidak diragukan lagi, dan bahwa Allah akan membangkitkan yang di dalam kubur.


Saya berwasiat kepada yang saya tinggalkan dari keluarga saya, keturunan saya dan semua kerabat saya untuk bertakwa kepada Allah saling memperbaiki hubungan kekerabatam, menaati Allah dan Rasul-Nya serta saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran. Saya berwasiat kepada mereka seperti yang diwasiatkan oleh Ibrahim ‘alaihissalam kepada putranya dan sebagaimana yang diwasiatkan Ya’qub,

يَابَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam.” (QS. Al-Baqarah: 132)

Setelah ia menyebutkan wasiat-wasiat lainnya yang ia kehendaki. Misalnya, mewasiatkan sepertiga hartanya atau kurang dari itu atau harta tertentu yang tidak melebihi sepertiga dengan menjelaskan peruntukannya yang dibenarkan syariat, serta menyebutkan wakilnya untuk melaksanakannya.
Berwasiat tidak wajib, tapi sangat dianjurkan bila ingin mewasiatkan sesuatu. Hal ini berdasarkan riwayat yang disebutkan dalam Ash-Shahihain, dari Ibnu Umar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda,
Tidaklah seorang muslim berhak melewati dua malam, sedangkan dia memiliki sesuatu yang (hendak) dia wasiatkan padanya, melainkan wasiatnya (harus) tertulis di sisinya.”

Tapi jika ia mempunyai hutang atau hak-hak orang lain yang tidak ada bukti-buktinya, maka ia harus mewasiatkan untuk melunaskan hutang dan memeunhi hak-hak tersebut, sehingga tidak menghilangkan hak-hak orang lain. Dalam wasiat ini hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi yang adil serta merektifikasikannya kepada seorang ahli ilmu sehingga boleh dijadikan pedoman. Dan tidak diharusnya dengan tulisan saja, kerana tulisannya bisa mirip dengan tulisan orang lain di samping tidak mudah diketahui kebenaran. Wallahu waliyut taufiq.


Sunday, February 8, 2015

Warisan Anak Angkat & Solusinya

Pertanyaan:-

Saya ada membaca sebuah artikel bahwa anak angkat tidak berhak mendapat warisan dari orang tua angkatnya. Jadi si anak ini dapat apa? Bagaimana jika dia diberi orang tua angkatnya? Ke manakah larinya warisan orang tua angkat?

Jawapan:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Anak angkat statusnya berbeza dengan anak kandung. Dalam aturan islam, anak angkat yang diasuh orang tua angkat, nasabnya tidak berubah. Ertinya, dia masih menjadi anak orang tua aslinya. Kerana tidak ada hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat maka tidak berlaku semua hukum nasab dalam hal ini. Salah satunya, tidak boleh saling mewarisi. Sehingga ketika orang tua angkat meninggal, anak angkat tidak boleh mewarisi hartanya, demikian pula ketika anak angkat meninggal, orang tua angkat tidak boleh menjadi ahli warisnya. Karena tidak ada hubungan saling mewarisi dalam hal ini.

Antara Hibah, Warisan, dan Wasiat

Hibah, warisan, dan wasiat adalah tiga bentuk perpindahan harta dari satu orang ke orang lain yang memiliki aturan berbeda.
Hibah: memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa ada timbal balik (searah). Hibah hanya boleh diberikan selama orang yang memberikan masih hidup, sadar, dan tanpa paksaan.
Wasiat: Memberikan sesuatu kepada orang dan baru akan dilaksanakan setelah orang yang memberi ini meninggal dunia. Wasiat boleh dijalankan, dengan syarat:
  1. Tidak diberikan kepada Ahli waris
  2. Tidak boleh lebih dari sepertiga. Jika lebih dari seperti maka harus dengan persetujuan ahli waris.
Warisan: Pemindahan hak dari satu orang kepada orang tertentu, dengan porsi dan aturan tertentu, tanpa harus ada akad sebelumnya.
Dari ketiga jenis pemindahan kepemilikan di atas, anak angkat bisa mendapatkan harta dari orang tua angkatnya dengan dua cara: hibah atau wasiat. Sementara untuk warisan, dia tidak mendapatkan, kerana anak angkat bukan ahli waris.
a. Hibah
Pemberian orang tua angkat kepada anak angkatnya ketika dia masih sehat, dan dilakukan murni atas kemahuannya, termasuk bentuk hibah. Orang tua angkat boleh menghibahkan hartanya kepada anak angkatnya, sekalipun lebih dari sepertiga hartanya, dan meskipun tanpa persetujuan ahli waris yang lain. Dan yang sudah diberikan orang tua angkat, tidak boleh ditarik kembali oleh ahli waris. Karena harta yang sudah dihibahkan, telah berpindah kepemilikan.
b. Wasiat
Karena anak angkat bukan ahli waris, maka dia boleh mendapatkan wasiat dari orang tua angkatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، أَلَا لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah telah memberi jatah warisan kepada masing-masing yang berhak. Ketahuilah, tidak ada wasiat untuk ahli waris. (HR. Ibnu Majah 2714)
Hanya saja perlu diperhatikan, wasiat ini maksimal sepertiga dari total harta yang ditinggalkan mayit.
Allahu a’lam

Wednesday, February 4, 2015

Semua Harta Diwasiatkan Untuk Isteri Muda

Pertanyaan
Assalamu’alaikum
Ibu saya sudah meninggal dan ayah saya berkahwin lagi. Ayah saya bercadang setelah beliau meninggal nanti, seluruh harta yang dimilikinya mahu diwasiatkan/diberikan kepada isteri barunya.
Apakah ini dibenarkan dalam syariat Islam? kerana harta yang ada sekarang ini bukan hanya usaha dari ayah saya, tapi ibu saya juga berperanan dalam mendapatkan harta.
Terima kasih sebelumnya atas jawabanya.
Wassalamu’alaikum.
Dari: Endy

Jawapan:

Wa’alaikumus salam
Isteri termasuk ahli waris. Isteri mendapat jatah 1/4 atau 1/8, sebagaimana yang dijelaskan di surat An Nisa: 12. Dalam syariat kita, ahli waris tidak boleh menerima wasiat. Karena ahli waris sudah menerima jatah sesuai yang ditetapkan syariat. Sehingga ketika dia menerima wasiat, maka beerti dia mendapat jatah dua kali, dan tentu saja ini akan menzalimi ahli waris yang lain. Aturan inilah yang pernah dipesankan oleh junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallammelalui sabdanya ketika berkhutbah pada saat haji wada’:
أَيُّهَا النَّاسُ، إِنَّ اللهَ قَدْ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ،
 لَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Wahai manusia, sesungguhnya Allah telah memberikan jatah kepada masing-masing yang berhak. Kerana itu, tidak ada wasiat untuk ahli waris.” (HR. Ibn Majah 2714, At-Thabrani dalam al-Ausath 7791).
Jika dalam undang-undang sivil, manusia boleh membatalkan perjanjian demi hukum. Semangat ini juga seharusnya kita bangun dalam penerapan hukum syariat. Kesepakatan dan wasiat yang ditulis oleh si Mati, dan melanggar aturan syariat, wajib dibatalkan demi hukum Allah. 
Dengan demikian, wasiat yang disampaikan bapa anda tidak berlaku, sehingga jika sang isteri berpegang teguh dengan wasiat itu maka dikira menzalimi hak orang lain.
Hal terpenting yang patut kita perhatikan berkait pembagian warisan, bahwa Allah telah menetapkan aturan yang sangat jelas, baik dalam Alquran mahupun hadis. Sebagai seorang yang beriman kepada kitabullah, kita harus yakin bahwa aturan inilah yang terbaik dan yang paling adil. Dengan mengacu pada aturan ini, kita boleh menghindari berbagai sengketa dan permusuhan saat pembahagian warisan.
Oleh kerana itulah, setelah Allah menjelaskan pembahagian warisan yang benar, Allah memberikan ancaman kepada siapa saja yang cuba membelot dari aturan tersebut, melalui firman-Nya:
تِلْكَ حُدُودُ اللَّـهِ وَمَن يُطِعِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ ﴿ ﴾
 وَمَن يَعْصِ اللَّـهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ
نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah dan Rasul-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal didalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, nescaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. An-Nisa: 13 – 14)
Nyata ayat ini mengingatkan, bagi orang-orang yang pernah merampas hak orang lain terkait warisan, berhati-hatilah dengan ayat ini.

Monday, February 2, 2015

Wasiat Orang Tua Bertentangan Dengan Hukum Waris

Assalamu'alaikum.. 

Pak Ustadz yang dirahmati Allah. 

Saya dan saudara kandung yang lain tengah membahas tentang rumah peninggalan orang tua kami. Salah seorang kakak kami, yang kebetulan dalam keadaan kekurangan, meminta agar rumah dijual dan dibagikan warisannya. 

Namun kakak saya yang lain tidak setuju kerana beliau menerima wasiat dari ibu agar bila ibu meninggal, rumah itu tidak boleh dijual dan dibagi waris, tapi agar rumah diduduki oleh anak-anaknya yang di dalam kekurangan. 

Menurut kakak saya, dia tidak mahju memikul tanggung jawab diakhirat nanti bila melanggar wasiat ibu kami dengan menjual rumah dan membagi warisan. Kerana menurutnya hukum waris akan gugur bila ada wasiat dari orang tua. 

Mohon penjelasan dari pak ustadz terkait masalah ini. Terima kasih 

Wassalamu'alaikum..
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam syariah Islam memang kita mengenal adanya hukum wasiat dan hukum waris sekaligus. Keduanya wajib dijalankan dengan sungguh-sungguh, kerana masing-masing punya dasar hukum dari Al-Quran, As-Sunnah dan Ijma ulama.

Dalam implementasinya, syariat Islam juga mengatur pembagian wilayah untuk masing-masingnya. Kapan dan dimana berlakunya hukum wasiat, semua sudah diatur sedemikian rupa. Dan kapan serta dimana harus diberlakukan hukum waris, juga sudah diatur sedemikian rupa. Sehingga antara wasiat dan waris tidak mungkin tumpang tindih, kalau kita benar-benar menerapkan syariah Islam dengan benar.

A. Hukum Wasiat
Kalau diurutkan berdasarkan periode pensyariatannya, nampaknya syariat Islam yang terkait dengan hukum-hukum wasiat lebih dahulu diturunkan. Dan pada masa awal, ada periode dimana hukum waris belum turun dan juga belum berlaku.

Sehingga di masa itu, segala hal yang terkait dengan harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, semuanya ditetapkan berdasarkan wasiat almarhum semasa hidupnya.

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالأقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan  maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf . Hal itu adalah kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-Baqarah : 180)

Dengan adanya ayat di atas, sebenarnya tidak terlalu salah-salah amat ketika di dalam keluarga ada yang selalu berupaya agar wasiat dari orang tua wajib dijalankan. Khususnya wasiat yang terkait dengan harta-harta milik beliau. 

Dan pada saat ayat ini turun, berlaku hukum kewajiban untuk menjalankan wasiat. Dan siapa yang melanggar wasiat almarhum, tentu dia akan berdosa besar. 

B. Perubahan Hukum di Masa Tasyri' (Proses Pensyariatan)
Hanya yang jadi masalah, syariat Islam itu turun berproses dan berangsur-angsur. Ada hukum-hukum yang awalnya sudah ditetapkan demikian, tetapi kemudian dalam proses di masa tasyri' itu, Allah SWT punya kehendak untuk mengubah dan merevisinya dengan hukum yang turun kemudian.

Di dalam ilmu ushul fiqih, kita mengenalnya dengan istilah nasakh dan mansukh. Intinya, Allah SWT punya hak preogratif 100% untuk mengubah hukum-hukumnya. Apa yang tadinya wajib berubah jadi sunnah, mubah, makruh bahkan haram. Dan boleh juga sebaliknya, yang tadinya haram boleh berubah jadi makruh, mubah, sunnah bahkan wajib.

Contoh yang sederhana adalah hukum minum khamar. Awalnya di masa Mekkah yang 13 tahun itu, sama sekali tidak turun ayat atau hukum yang melarang. Maka saat itu para shahabat yang aslinya memang 'penggemar' khamar itu masih asik menenggak khamar.

Namun di masa Madinah, turunlah empat ayat yang berbeda di waktu yang berbeda, yang secara berangsur-angsur mengubahnya hukum minum khamar ini sehingga pada akhirnya menjadi haram total. Bahkan peminum khamar dihukum sebat 40 hingga 80 kali.

Contoh lain adalah nikah mut'ah alias kawin kontrak. Awalnya syariat Islam membolehkannya dan para shahabat nabi sendiri banyak yang melakukannya. Namun Allah SWT berkehendak untuk menyempurnakan syariat-Nya. Sehingga pada bagian akhir periode tasyri', nikah mut'ah itu berubah status menjadi haram untuk selamanya.

Contoh lainnya lagi adalah haramnya berizarah kubur di masa awal tasyri'. Kemudian pada bagian akhir, ziarah kubur diperbolehkan, bahkan dianjurkan dalam syariat Islam.

Kesimpulannya bahwa selama masa tasyri' dengan rentang 23 tahun masa kenabian, banyak sekali hukum-hukum yang mengalami proses penyempurnaan. Dan kita wajib ikuti prosesnya, tidak boleh menentang perubahan hukum yang telah Allah SWT tetapkan.

C. Hukum Waris
Hukum waris termasuk hukum-hukum yang turun kemudian, alias turun agak belakangan setelah sebelumnya Allah SWT memberlakukan hukum wasiat.

Dengan turunnya ayat-ayat waris, maka sebagian dari hukum-hukum wasiat menjadi tidak berlaku. Dengan bahasa yang lebih mudah, sebagian hukum wasiat dikurangi dan diganti dengan hukum waris. 

secara logik hukum kakak Anda itu agaknya terbalik. Kurang tepat kalau dikatakan bila ada wasiat maka hukum waris menjadi gugur. Yang benar justru sebaliknya, meski ada wasiat namun bila wasiat ini bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yaitu hukum waris, maka wasiat menjadi tidak berlaku. 

Namun bila wasiat itu tidak bertentangan dengan hukum waris, maka wasiat itu wajib untuk tetap dijalankan. 


Kalau sebelumnya aturan pembagian harta orang yang wafat ditetapkan dengan cara wasiat, maka dengan turunnya hukum waris, wasiat kepada ahli waris pun tidak lagi berlaku dan dihapuskan untuk selama-lamanya.

1. Hukum Waris Wajib Dijalankan
Turunnya ayat waris ini kemudian menetapkan bahwa ahli waris diharamkan menerima harta lewat jalur wasiat. Dan ketentuan yang baru ini wajib diterima dan tidak boleh ditolak oleh siapapun, termasuk oleh almarhum sendiri sebagai pemilik asli dari harta yang ditinggalkan.
Maka baik ahli waris, atau pun pewaris, semua harus tunduk dengan hukum Allah SWT yang baru. Dan ketentuan ini juga dilengkapi dengan ancaman, bahwa siapa yang menentang akan dimasukkan ke dalam neraka. Malah ada tambahan dari ancaman ini, yaitu masuk neraka dan tidak boleh keluar lagi alias abadi di dalamnya.
وَمَن يَعْصِ اللّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُّهِينٌ
Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya (hukum waris), niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa' : 14)

2. Ahli Waris Haram Menerima Wasiat
Dan juga menjadi ketentuan hukum syariat bahwa para ahli waris DIHARAMKAN untuk menerima harta secara jalur wasiat dari orangtuanya. 

Dasarnya adalah hadits Nabi SAW :

إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَعْطَى كُل ذِي حَقٍّ حَقَّهُ فَلاَ وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ

Sesungguhnya Allah telah memberikan setiap orang masing-masing haknya. Maka tidak boleh harta itu diwasiatkan kepada ahli waris. (HR. At-Tirmizy)

Jadi kesimpulannya, seorang pewaris sudah tidak lagi dibolehkan untuk membuat wasiat, bila para penerimanya adalah ahli warisnya sendiri. Kalau mahu berwasiat, berwasiatlah kepada yang selain ahli waris.

Dan para ahli waris haram hukumnya menerima harta bila jalurnya lewat wasiat, kerana bertentangan dengan hukum waris yang telah Allah SWT tetapkan.

3. Wasiat Hanya Kepada Selain Ahli Waris Maksimal 1/3 Bagian
Ketika berwasiat kepada selain ahli waris, syariat Islam juga memberikan batasan maksimal yang boleh diwasiatkan, yaitu 1/3 bagian saja. Sedangkan yang 2/3 itu harus 'diprotect', tidak boleh diwasiatkan, kerana sudah menjadi jatah bagi para ahli waris.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW kepada Saad bin Abi Waqqash :

قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أُوصِي بِمَالِي كُلِّه؟ِ قَالَ : لا . قُلْتُ فَالشَّطْرُ ؟ قَالَ : لا . قُلْتُ : الثُّلُثُ؟ قَالَ : فَالثُّلُثُ وَالثُّلُثُ كَثِيرٌ. إِنَّكَ أَنْ تَدَعَ وَرَثَتَكَ أَغْنِيَاءَ خَيْرٌ مِنْ أَنْ تَدَعَهُمْ عَالَةً يَتَكَفَّفُونَ النَّاسَ فِي أَيْدِيهِمْ

Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiallahuanhu dia berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku mau berwasiat untuk menyerahkan seluruh hartaku”. Beliau SAW bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau setengahnya?” Beliau bersabda, “Tidak boleh”. Aku berkata, “Kalau sepertiganya?” Beliau bersabda: “Ya sepertiganya dan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin lalu mengemis kepada manusia dengan menengadahkan tangan-tangan mereka.” (HR. Al-Bukhari Muslim)

D. Kelemahan Hukum Wasiat

Mungkin anda bertanya, kenapa Allah SWT menukar hukum wasiat yang sebelumnya berlaku dengan hukum waris? Apa hikmah di baliknya?

Tentu saja Allah SWT tidak menukar atau menasakh suatu hukum, kecuali demi kebaikan manusia sendiri. Di antara hikmahnya adalah bahwa di dalam hukum wasiat masih terdapat banyak kelemahan, misalnya boleh saja seseorang yang kedudukannya bukan sebagai ahli waris dari almarhum, tetapi jadi berhak menerima harta dalam jumlah tertentu,kerana namanya disebut dalam surat wasiat. 
Tentu ini sangat tidak adil, bukan?

Dan hal yang sebaliknya juga boleh terjadi, iaitu mungkin saja yang termasuk ahli waris malah tidak menerimanya, lantaran si pemilik harta tidak mewasiatkan bagian harta untuknya.

Dari ketentuan ini, boleh disimpulkan bahwa penetapan harta warisan dengan cara wasiat ini semata-mata didasarkan pada faktor suka atau tidak suka (like and dislike).

Dalam kasus nyata, boleh saja seorang ayah sebelum wafat mengatur seenak perasaannya sendiri, bagaimana cara pembagian harta sepeninggalnya. Boleh saja dia berwasiat untuk memberikan sejumlah harta tertentu kepada salah satu dari anaknya, sebagian mendapat jumlah yang lebih besar, sebagian lainnya mendapat jumlah yang lebih kecil, bahkan boleh juga ada anak yang sama sekali tidak diberikan harta.

Maka anak yang pandai mengambil hati orang tua, tentu dia akan beruntung kerana boleh dipastikan akan mendapat wasiat yang lebih besar nilainya. Sebaliknya, anak yang kurang dekat dengan orang tuanya, bahkan dibenci dan dimarahi, boleh mungkin tidak mendapatkan harta peninggalan apa apa pun.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Sunday, February 1, 2015

Syarat Sah Wasiat

Pertama, terkait wasiat dalam bentuk meminta orang lain untuk mengurusi suatu hal semisal membayarkan utang, merawat anak yang ditinggalkan maka disyaratkan bahwa orang yang diberi wasiat tersebut adalah seorang muslim dan berakal. Kerana jika tidak, dikhawatirkan amanah dalam wasiat tidak bisa terlaksana dengan baik.

Kedua, orang yang berwasiat adalah orang yang berakal sehat dan memiliki harta yang akan diwasiatkan.
Ketiga, isi wasiat yang disampaikan hukumnya mubah. Tidak sah wasiat dalam hal yang haram, semisal wasiat agar diratapi setelah meninggal dunia atau berwasiat agar sebahagian hartanya diberikan kepada gereja atau untuk membiayai acara bid’ah, acara hura hura atau acara maksiat lainnya.
Keempat, orang yang diberi wasiat, bersedia menerima wasiat. Jika dia menolak maka wasiat batal dan setelah penolakan orang tersebut tidak berhak atas apa yang diwasiatkan.

Diantara Ketentuan Wasiat

Pertama, orang yang berwasiat boleh meralat atau mengubah ubah isi wasiat. Berdasarkan perkataan Umar, “Seseorang boleh mengubah isi wasiat sebagaimana yang dia inginkan.” (Diriwayatkan oleh Baihaqi).
Kedua, tidak boleh wasiat harta melebihi sepertiga dari total kekayaan. Mengingat sabda Nabi kepada Saad bin Abi Waqash yang melarangnya untuk berwasiat dengan dua pertiga atau setengah dari total kekayaannya. Ketika Saad bertanya kepada Nabi, bagaimana kalau sepertiga maka jawaban Nabi, “Sepertiga, namun sepertiga itu sudah terhitung banyak. Jika kau tinggalkan ahli warismu dalam kondisi berkecukupan itu lebih baik dari pada kau tinggalkan mereka dalam kondisi miskin lantas mereka mengemis ngemis kepada banyak orang.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Ketiga, Dianjurkan agar kurang dari sepertiga, sebagaimana keterangan Ibnu Abbas, “Andai manusia mau menurunkan kadar harta yang diwasiatkan dari sepertiga menjadi seperempat mengingat sabda Nabi ‘sepertiga akan tetapi sepertiga itu banyak’.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Keempat, yang terbaik adalah mencukupkan diri dengan berwasiat seperlima dari total kekayaannya, mengingat perkataan Abu Bakar, “Aku redha dengan dengan apa yang Allah redhai untuk dirinya” yaitu seperlima.” (Syarh Riyadhus Shalihin oleh Ibnu Utsaimin, 1/44).
Kelima, Larangan untuk berwasiat dengan lebih dari sepertiga itu hanya berlaku orang yang memiliki ahli waris. Sedangkan orang yang sama sekali tidak memiliki ahli waris dia diperbolehkan untuk berwasiat dengan seluruh hartanya.
Keenam, Wasiat dengan lebih dari sepertiga boleh dilaksanakan manakala seluruh ahli waris menyetujuinya dan tidak mempermasalahkannya.
Ketujuh, tidak diperbolehkan [baca: haram] dan tidak sah, wasiat harta yang diberikan kepada ahli waris yang mendapatkan warisan meski dengan nominal yang kecil, kecuali jika seluruh ahli waris sepakat membolehkannya, setelah pemberi wasiat meninggal. Nabi shallallahu ‘alaihi wa allam bersabda,“Sesungguhnya Allah itu telah memberikan kepada semua yang memiliki hak apa yang menjadi haknya. Oleh kerana itu tidak ada wasiat harta bagi orang yang mendapatkan warisan.” (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al Albani).
Kelapan, Jika wasiat harta untuk orang yang mendapatkan warisan itu ternyata hanya disetujui oleh sebahagian ahli waris kerana sebahagian yang lain menyatakan ketidaksetujuannya maka isi wasiat dalam kondisi ini hanya dapat dilaksanakan pada bahagian yang menyetujui isi wasiat namun tidak dapat diberlakukan pada bahagian warisan yang tidak menyetujuinya.

Wednesday, January 28, 2015

CIRI-CIRI WASIAT ISLAM

Terdapat beberapa ciri dan prinsip wasiat Islam yang perlu dipatuhi:‎ 

‎1. Harta yang hendak diwasiatkan mestilah tidak lebih daripada sepertiga (1/3) daripada ‎harta pusaka bersih kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris.‎ 

‎2. Penerimanya hendaklah bukan waris iaitu mereka yang tiada hak faraid ke atas pusaka ‎simati kecuali mendapat persetujuan daripada ahli-ahli waris yang lain.‎ 

‎3. Jika penerima wasiat meninggal dunia semasa hayat pewasiat, maka wasiat tersebut ‎adalah terbatal.‎ 

‎4. Jika penerima wasiat meninggal dunia selepas menerima wasiat dan selepas kematian ‎pewasiat, maka haknya boleh diwarisi oleh waris penerima.‎ ‎

5. Selepas kematian pewasiat, perlu ditolak dahulu kos perbelanjaan pengkebumian dan ‎pembayaran hutang simati.‎ ‎

6. Wasiat boleh ditarikbalik pada bila-bila masa kerana ia hanya berkuatkuasa selepas ‎kematian pewasiat dan wasiat tersebut perlulah dibuat secara sukarela.‎ ‎

7. Harta yang diwasiatkan adalah harta milik sendiri secara tunai dan bukan harta milik ‎orang lain.‎

8. Jika yang diwasiatkan adalah dari harta perkongsian samada perniagaan atau ‎seumpamanya, maka hendaklah dikepilkan bersama surat perakuan dari rakan kongsi ‎yang menyatakan sah wujudnya dan benarnya sebagaimana yang ditulis dalam wasiat.‎

9. Wasiat yang ditulis hendaklah tidak membebankan penerima wasiat. Sebagaimana firman Allah s.w.t. dalam surah an-Nisa' ayat 12:




 Maksudnya: "...Kalau pula mereka (saudara-saudara yang seibu itu) lebih dari seorang, maka mereka ‎bersekutu pada satu pertiga (dengan mendapat sama banyak lelaki dengan perempuan), ‎sesudah ditunaikan wasiat yang diwasiatkan oleh si mati dan sesudah dibayarkan ‎hutangnya; wasiat-wasiat yang tersebut hendaknya tidak mendatangkan mudarat (kepada ‎waris-waris). (Tiap-tiap satu hukum itu) ialah ketetapan dari Allah. Dan (ingatlah) Allah ‎Maha Mengetahui, lagi Maha Penyabar".‎ 

Tuesday, January 27, 2015

KEPENTINGAN WASIAT

Kepentingan berwasiat bukanlah untuk pembahagian harta semata-mata. Asas pembahagian telah ditetapkan oleh syarak dalam surah An-Nisa’ ayat 5 hingga 12.‎ Berwasiat adalah untuk menjaga hak dan kepentingan demi keadilan ke atas mereka ‎yang tidak diberikan hak.‎ 

Berwasiat juga bertujuan untuk melantik seorang pemegang amanah yang akan mentadbir ‎harta pusaka yang ditinggalkan secara sempurna dan bijaksana. Kita semua mahu ‎peninggalan kita di dunia ini diiringi rahmat dan doa dari semua pihak.‎ 

Firman Allah s.w.t. dalam surah An-Nisa’ ayat 13:‎ 


Maksudnya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. ‎Barangsiapa taat kepada Allah & RasulNya, nescaya Allah memasukkanya ke dalam ‎syurga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya dan ‎itulah kemenangan yang besar”.‎ 

Wasiat juga memberi keadilan dalam pembahagian harta kepada anak-anak yang ‎disembunyikan statusnya kerana perkahwinan kedua atau ketiga yang tidak disenangi ‎keluarga utama.‎ 

Wasiat mungkin hebahan terhadap harta si pewasiat yang tidak diketahui oleh ahli waris secara menyeluruh atau secara ditil satu persatu. Pewasiat semasa hidupnya menyembunyikan harta atau kepentingan berkenaan dengan sebab-sebab yang tertentu. 

HUKUM BERWASIAT 

Berdasarkan hadits dari Rasulullah s.a.w., hukumnya sunat;

‎‎“Barang siapa yang mati dalam keadaan berwasiat maka dia telah mati di atas jalan Allah ‎dan Sunnah, mati dalam keadaan bertaqwa dan syahid dalam keadaan ‎diampuni dosanya”. (Hadis riwayat Ibnu Majah)‎.

Walaubagaimanapun terdapat perbezaan pendapat di antara para ulamak tentang hukum ‎berwasiat. Percanggahan pendapat ini disebabkan para ulamak mengambil kira banyak ‎atau sedikitnya harta yang ditinggalkan. Secara umumnya berwasiat dihukumkan harus.‎ 

Ada pendapat mengatakan wasiat itu wajib dalam keadaan di mana manusia mempunyai ‎kewajipan syarak yang dikhuatiri akan disia-siakan. Umpamanya hutang kepada Allah dan ‎manusia, misalnya kewajipan zakat atau haji yang belum ditunaikan atau ‎mempunyai amanah yang harus disampaikan atau mempunyai hutang yang tidak ‎diketahui oleh orang lain yang wajib ditunaikan atau mempunyai tanggungjawab atau kontrak yang tidak ‎dipersaksikan.‎ 

Firman Allah s.w.t.;‎ Maksudnya: 



“Diwajibkan keatas kamu, apabila seorang diantara kamu kelihatan tanda-‎tanda hampir mati, jika dia mennggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibubapa dan ‎saudara maranya dengan cara yang baik. Ini adalah kewajipan ke atas orang-orang yang ‎bertaqwa”. (QS. Al-Baqarah : 180).‎ 



Monday, January 26, 2015

DALIL WASIAT

Wasiat adalah dibenarkan di dalam Islam. Wasiat disyariatkan melalui dalil Al-Quran, ‎Sunnah Nabi s.a.w., amalan sahabat dan ijma' ulama'.‎

Dalam al-Quran, Allah s.w.t. berfirman:
"...Tetapi sekiranya kamu mempunyai anak maka bahagian mereka (isteri-isteri kamu) ialah satu ‎perlapan dari harta yang kamu tinggalkan, sesudah ditunaikan wasiat yang kamu ‎wasiatkan dan sesudah dibayarkan hutang kamu..." ‎‎(QS. Surah An-Nisa': 12)‎

Dalam Sunnah, Rasulullah s.a.w. bersabda, maksudnya: “Seseorang Muslim yang ‎mempunyai sesuatu yang boleh diwasiatkan tidak sepatutnya tidur dua malam berturut-‎turut melainkan dia menulis wasiat disisinya”.(Hadis riwayat Bukhari dan Muslim)‎


Hadis ini menyebut kalimah 'tidak sepatutnya' menunjukkan bahawa setiap seorang muslim perlu mempersediakan ‎diri dengan menulis wasiatnya kerana dia tidak ‎mengetahui bila ajalnya akan tiba. Kemungkinan kerana kelalaiannya akan mengakibatkan ‎segala hajatnya tergendala dan tidak terlaksana.‎ Manakala harta yang ditinggalkannya menjadi rebutan dan perkelahian pewaris yang masih hidup.

Rasulullah s.a.w. turut besabda yang maksudnya: “Orang yang malang ialah orang yang ‎tidak sempat berwasiat”. (Hadis riwayat Ibnu Majah)‎

Sabda Rasulullah s.a.w. lagi: “Sesiapa yang meninggal dunia dengan meninggalkan ‎wasiat maka dia mati di atas jalan Islam dan mengikut sunnah. Dia mati dalam keadaan ‎bertaqwa, bersyahadah dan dalam keadaan diampunkan. (Hadis riwayat Ibnu Majah)‎

Sunday, January 25, 2015

APA ITU WASIAT?




Sejak akhir-akhir ini kita kerap kali mendengar tentang harta dan aset umat islam khasnya yang tidak boleh dicairkan atau sudah  dibekukan.  Semuanya berpunca kerana tiada dokumentasi yang betul, ketiadaan waris dan konflik sesama waris yang menuntut harta pusaka tersebut.  Pernahkah kita mendengar duit yang tidak dituntut sahaja berjumlah ratusan juta yang masih tidak dituntut?  Duit ini datangnya dari akaun-akaun bank yang mana pemegang akaun tersebut sudah meninggal, lupa atau sengaja mengabaikannya.  Duit tersebut tidak boleh diagihkan kemana-mana kerana tiada waris yang menunut, sementara pihak berwajib juga gagal mengesan waris semati. Keadaan bertambah kompleks apabila pihak waris sendiri tidak tahu bagaimana hendak menunut duit tersebut.  Kebanyakannya mereka sendiri tidak tahu waris mereka mati meninggalkan duit dalam akaun-akaun bank.

Pembahagian Harta Pusaka Tertangguh Akibat Tiada Wasiat

Adakah Suatu Hari Nanti Harta Kita Juga Menjadi Harta Tidak Dituntut ?

Wasiat Dari Segi Bahasa


Wasiat dari segi bahasa maksudnya adalah sambung, manakala dari segi istilah pula maksudnya pemberian disandarkan atau dikaitkan sesudah mati iaitu ianya hanya terlaksana selepas pewasiat meninggal dunia. 

Wasiat bermaksud iqrar seseorang yang diperbuat pada masa hayatnya ke atas hartanya atau manfaat untuk menyempurnakan sesuatu bagi maksud kebajikan atau apa-apa maksud yang dibenarkan menurut hukum syarak, selepas dia meniggal. Ia juga merupakan suatu hasrat atau keinginan yang dizahirkan secara lisan atau bertulis oleh ‎seseorang mengenai hartanya, hutangnya atau amal ibadahnya untuk diuruskan selepas ‎berlaku kematiannya. Tetapi wasiat yang dibuat secara lisan adalah terdedah kepada ‎fitnah akibat arahan yang tidak jelas dan boleh dipertikaikan di kalangan ahli waris. Oleh ‎itu SEBAIK BAIK WASIAT ADALAH YANG DI TULIS DAN DI SAKSIKAN oleh seseorang tertentu.‎
Islam amat menggalakkan umatnya supaya berwasiat dalam merancang harta. Namun demikian, wasiat tersebut hendaklah terhad kepada sepertiga harta sahaja. Surat Wasiat ialah surat pengistiharan sah yang mana penulisanya adalah selaku pewasiat, mencalonkan beberapa orang lain untuk menguruskan asetnya serta menguruskan pertukaran hartanya apabila pewasian meninggal dunia. Wasiat juga boleh merupakan surat amanah yang hanya menjadi laku dan sah apabila selepas kematian pewasiat.